Kalau dengar kata samurai, biasanya yang langsung terbayang adalah para ksatria gagah berani dari Jepang, lengkap dengan baju zirah dan katana yang berkilau. Tapi, pernahkah kamu membayangkan para samurai ini berlayar jauh dari negeri sakura, bahkan sampai ke Pulau Banda di Maluku? Yap, cerita ini nyata terjadi, tepatnya di tahun 1621!
Mari kita kulik lebih dalam tentang peristiwa langka ini: Samurai Jepang Membantu VOC di Pulau Banda
Latar Belakang: Samurai Tanpa Tuan alias Ronin
Di awal abad ke-17, Jepang sedang mengalami masa transisi besar. Setelah kekacauan panjang dalam Periode Sengoku, Tokugawa Ieyasu berhasil mempersatukan Jepang dan mendirikan Keshogunan Tokugawa. Akibatnya, banyak samurai kehilangan tuannya karena para daimyo (penguasa wilayah) kalah perang atau dipaksa pensiun. Samurai-samurai ini disebut ronin — samurai tanpa tuan, tanpa gaji tetap, dan sering hidup dalam ketidakpastian.
Nah, di saat yang sama, Belanda lewat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sedang sibuk memperluas cengkeramannya di Asia, terutama untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Maluku, khususnya Pulau Banda, jadi sasaran utama karena kaya akan pala, komoditas yang saat itu lebih berharga daripada emas.
VOC butuh pasukan kuat untuk menundukkan perlawanan penduduk lokal di Banda. Di sinilah ide "merekrut" para ronin muncul.
Bagaimana Samurai Bisa Sampai ke Banda?
Sekitar tahun 1620-an, hubungan antara Jepang dan VOC cukup intens, terutama di pelabuhan dagang seperti Hirado dan Nagasaki. Belanda melihat peluang: banyak ronin menganggur dan butuh pekerjaan. Maka, mereka merekrut ratusan ronin untuk dijadikan pasukan bayaran.
Tahun 1621, pasukan ini — gabungan tentara Eropa, serdadu Asia, dan para ronin — berangkat ke Banda. Tugas mereka jelas: membantu Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang terkenal kejam itu, dalam operasi besar-besaran menguasai Banda.
Bayangkan, samurai yang biasanya bertempur demi kehormatan klannya, kini ikut berlayar ribuan kilometer untuk berperang demi rempah-rempah!
Tragedi di Banda
Sesampainya di Banda, situasi benar-benar brutal. VOC menjalankan strategi bumi hangus. Desa-desa dibakar, penduduk dibantai, dan hanya segelintir orang Banda yang selamat dari kekejaman ini. Pala yang dulunya dipanen bebas oleh penduduk lokal, kini sepenuhnya dikuasai VOC.
Para ronin ini berperan dalam aksi penaklukan itu, walau detail spesifik tentang peran individu mereka tidak banyak tercatat. Yang jelas, keterampilan mereka dalam bertempur tangan kosong, menggunakan katana, dan strategi tempur kecil membuat mereka sangat efektif dalam pertempuran jarak dekat di hutan-hutan Banda.
Namun, setelah tugas selesai, banyak ronin tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan. Ada yang kembali ke Jepang, ada yang mengabdi di pos-pos VOC di Asia Tenggara, dan ada pula yang menghilang dari catatan sejarah.
Kenapa Cerita Ini Jarang Diketahui?
Cerita tentang samurai di Banda kurang populer karena beberapa alasan. Pertama, catatan sejarah VOC lebih fokus pada peristiwa besar atau tokoh penting seperti Coen. Kedua, karena posisi ronin ini "tidak resmi" — mereka hanya pasukan bayaran. Dan ketiga, mungkin karena kisah ini tidak terlalu membanggakan, baik bagi Belanda maupun Jepang.
Padahal, kisah ini menunjukkan bagaimana dunia pada abad ke-17 sudah sangat global. Samurai Jepang bisa bertarung di hutan Banda demi pala yang bakal dijual di pasar Amsterdam. Keren sekaligus ironis, ya?
Penutup
Pengerahan samurai tanpa tuan (ronin) ke Pulau Banda tahun 1621 adalah salah satu cerita unik yang memperlihatkan betapa dunia sudah saling terhubung bahkan sebelum zaman internet. Ini juga mengingatkan kita bahwa di balik sejarah besar, ada banyak kisah individu — para ronin yang mencari arti hidup jauh dari tanah kelahirannya.
Kalau kamu suka cerita sejarah seperti ini, coba bayangkan: apa jadinya kalau para samurai itu malah menetap di Banda dan membentuk komunitas sendiri? Mungkin sekarang kita akan punya keturunan samurai di Maluku!
